Value Chains:
The New Economic Imperialism
By Intan Suwandi
Reviewed by Sawyer Martin French for The Suryakanta
Dalam ekonomi global saat ini, sebagian besar produksi terjadi di negara-negara “berkembang” seperti Tiongkok, India, dan Indonesia. Namun, sebagian besar keuntungan dari produk-produk yang dihasilkannya tetap menggunung dalam dompet para kapitalis di Eropa, Amerika, dan Jepang. Enak saja! Kok bisa?
Menurut Intan Suwandi, seorang sosiolog dan penulis buku Value Chains, paradoks ini dilandasi oleh sistem imperialis di mana perusahaan-perusahaan multinasional berhasil mengontrol proses produksi dan mengeruk keuntungan dari negara-negara di Belahan Bumi Selatan (Global South) melalui proses yang disebut dengan “pencaplokan nilai” (value capture).
Banyak komoditas yang dipasarkan bercap merek perusahaan multinasional seperti Apple atau Nike nyatanya tidak benar-benar diproduksi oleh perusahaan tersebut. Sebenarnya, sebagian besar proses produksi (dari pengolahan bahan dasar hingga perakitan akhir) dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil di bawah kontrol perusahan multinasional tersebut.
Buku ini menyediakan analisis sekaligus kritik tajam dan menyeluruh terhadap sistem kapitalis modern. Suwandi menjelaskan bagaimana struktur imperialisme menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional serta merugikan kaum buruh di negara-negara Selatan, dengan studi kasus dari dua perusahaan pemasok di Indonesia. Secara terperinci, ia juga mengkaji strategi-strategi terbaru dalam dunia bisnis, yang menurutnya, dengan licik berhasil untuk semakin memperketat cengkeraman kapitalisme terhadap buruh dan lingkungan hidup di negara-negara Selatan.
Dari zaman kolonial hingga awal era poskolonial (1970an), sebagian besar produksi industrial di dunia terjadi dalam negara-negara imperialis atau Belahan Bumi Utara (yaitu Eropa barat, Amerika utara, dan Jepang). Merekalah yang pertama mencapai industrialisasi. Dalam struktur imperialisme global pada saat itu, negara-negara Selatan berperan sebagai pemasok sumber daya alam dan bahan-bahan olahan dasar yang diimpor ke negara-negara Utara dengan harga murah.
Penting dicatat bahwa istilah “Utara” dan “Selatan” di sini tidak digunakan dalam arti geografis, melainkan dalam arti ekonomi-politik untuk membedakan antara negara-negara yang diuntungkan dan dirugikan oleh sistem imperialis global.
Namun, sekitar dekade 1970an, mulai ada pergeseran pusat produksi global dari Utara ke Selatan. Dengan pergeseran ini, dunia Selatan menjadi pusat produksi komoditas, dan negara-negara Utara justru beralih sebagai pusat konsumsi. Pada tahun 2010, Suwandi mencatat, terdapat 541 juta pekerja industrial di negara-negara Selatan, sementara di dunia Utara, jumlahnya hanya 145 juta pekerja…
Read the full review in Indonesian at The Suryakanta
Comments are closed.